Kamis, 15 Oktober 2009

Tips ABCDE untuk Siap Ujian Nasional


Adanya rencana Mendiknas untuk memajukan Ujian Nasional (UN) atau tidak, tak akan menjadi masalah bagi siswa yang berkarakter pembelajar dan punya komitmen untuk selalu belajar. Tipe siswa seperti ini akan istiqomah belajar, kapan pun dan dimana pun. Motivasi belajar mereka bukanlah hanya sekedar karena akan menghadapi ujian saja. Mereka istiqomah belajar karena menganggap belajar adalah sebuah kebutuhan, bukan kewajiban. Namun sayang, sedikit sekali kita temukan siswa yang mempunyai karakter seperti itu, malah sebaliknya, kita lebih sering menemukan siswa yang berkarakter lain. Tidak sedikit siswa yang hanya belajar diwaktu mereka akan menghadapi ujian saja dan sejenisnya. Jika hal ini terus dibiarkan, UN bagi siswa semacam ini akan menjadi momok besar. Oleh karena itu, untuk merekalah, tulisan ini ditujukan.

Kiat sukses UN disingkat dengan akronim alfabetis ABCDE.

Pertama huruf "A", Antusias. Kata ini berasal dari bahasa asing en (di dalam), theos (Tuhan), isme (paham). Jadi, antusias bermakna 'Tuhan ada di dalam diri' . Innallahama'ana. Jika antusias sudah merasuk ke dalam diri seseorang, maka siapapun akan bersemangat dalam hidup dan menghadapi Ujian, meskipun, Ujian yang berat sekalipun. Datangnya Ujian akan mereka sambut dengan sebuah keyakinan bahwa, mereka mampu menghadapinya dengan segala persiapan yang sudah matang. Niat dan motivasi akan selalu menyala dari dalam diri mereka, tak perlu lagi untuk diingatkan. Sebab, rasa antusias ini akan menjadi charger bagi diri masing-masing. Permasalahannya adalah, bagaimanakah dengan kondisi belajar para siswa saat ini? Sudah siapkah mereka?. Hal inilah yang harus kita pikirkan sebagai orang tua dan masyarakat umum.

Kedua huruf "B", Belajar efektif. Karena waktu di kelas terminal, maka kelas VI SD/MI, kelas IX SMP/MTs, dan kelas XII SMA/SMK/MA akan terasa sebentar dibanding kelas sebelumnya. Kemudian, Bagaimanakah belajar yang efektif itu? Jawabannya adalah belajar secara fungsional dan global, diantaranya; metode peta pikiran (mind mapping) sebaiknya diterapkan dalam catatan pribadi siswa dengan tulisan warna-warni. Secara teori pendidikan, tulisan yang warna-warni, sangat membantu sekali untuk mudah diingat. Berbagai sekolah telah lama mempersiapkan dengan drill latihan soal-soal disertai dengan uji coba (try out) yang notabene tidak hanya sekali dua kali, namun berkali-kali dengan materi terstruktur sejak kelas awal hingga akhir. Try out memang sengaja dibuat mirip dengan situasi yang sesungguhnya atau yang biasa kita kenal dengan istilah simulasi. Sebab, cara ini dipandang efektif selama model soal masih tetap pada ranah kognitif.

Ketiga adalah huruf "C", Cara memenej waktu. Mengingat waktu yang singkat di kelas akhir, sudah semestinya bagi siswa untuk bisa memenej waktu dengan sebaik-baiknya. Mau tidak mau harus disadari bahwa, semua orang diberi anugerah waktu yang sama yakni, 24 jam dalam sehari semalam, 60 menit tiap jamnya, dan 60 menit juga dalam setiap detiknya. Namun, mengapa hasilnya berbeda?. Jawabannya mungkin terletak pada ketidakmampuan siswa dalam memenej waktu. Dalam teori accelerated learning dijelaskan bahwa, emosi yang positif sangat membantu proses pembelajaran, belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi, dan belajar membutuhkan keterlibatan seluruh anggota tubuh serta pikiran. Jika mungkin, menjadikan belajar sebagai 'hiburan' juga diperbolehkan, sehingga siswa tidak akan merasa tersiksa dengan belajar keras menjelang UNAS. Refreshing memang diperlukan saat suntuk belajar, dengan konsekuensi tidak menyita waktu. Sebab kelak, bila menyesal karena tidak memanfaatkan waktu secara baik, maka tidak akan bisa diulangi kembali ke masa lalu.

Keempat huruf "D", Doa dan ibadah. Saat penulis sedang menyelesaikan tulisan ini, penulis teringat ketika dulu ia masih duduk di bangku terakhir SMA Islam Sunan Gunung Jati Tulungagung. Ketika itu Ia sering bertanya pada gurunya, "Pak, ada nggak ya doa yang 'cespleng' dan mujarab untuk bisa lulus Ujian Nasional?". Ketika pertanyaan itu muncul, sangat mungkin sekali bagi siswa untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Masalahnya, doa apakah dan
oleh siapakah itu? Tentu doa kesuksesan dan doa keselamatan dunia akhirat. Kemudian pertanyaan selanjutnya, siapa saja yang harus berdoa dan beribadah? Tidak lain tidak bukan jawabannya ialah siswa yang bersangkutan, orang tua atau keluarga, dan segenap warga sekolah. Jika doa bersama ini terlaksana, pasti akan menambah ketenangan bagi siswa. Dan jika jiwa
tenang, separuh kemenangan (kesuksesan) telah teraih. Kemudian yang kelima huruf "E", Empati. Doa yang menambah tenang, juga sebagai wujud kepedulian pada siswa. Siswa sangat membutuhkan empati atau feeling in, minimal sekadar simpati atau feeling on dari orang sekitar.
Disinilah peran keluraga dan masyarakat untuk berempati guna membantu menciptakan suasana rumah dan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Akhir kata, dengan kelima kiat di atas, semoga sukses dan bermanfaaat!

Sumber: netsains.com

Foto:fadhlyoke.wordpress.com

Senin, 12 Oktober 2009

Jilbab Syar'i dan Jilbab Funky

Sesungguhnya agama Islam memerintahkan setiap orang muslim agar mencintai saudaranya bagaikan mencintai dirinya sen- diri, kemudian menghindari mereka dari keburukan sebagaimana ia menghindarkan diri daripadanya, nasehat menasehati demi men- ta'ati kebenaran yang telah didatangkan dari Allah dan Rasul-Nya, baik itu berupa perintah maupun larangan, dengan hati rela mematuhinya.

Di saat agama Islam tiba dan kaum Jahiliyah membenci bayi perempuan, bahkan tega buah hati sendiri dikubur hidup-hidup, tidak memberikan harta warisan kepada wanita, terkadang mem- pusakai wanita bagaikan harta yang lain dengan jalan paksa.

Maka Allah serta Rasul-Nya melarang perbuatan keji ter- sebut, menjaga dan mengangkat derajat wanita bagaikan mutiara berharga, dengan memberikan hak-haknya sebagaimana agama menghormati dan memberikan hak-haknya kepada seorang lelaki.

Demi kesucian masyarakat serta demi keutuhan dan kehor- matan seorang muslimah dari kemaksiatan dan dari kecerobohan orang jahil, maka Islam menganjurkan perkawinan dan mengharam- kan perbuatan zina. Maka demi kesucian dan keutuhan, Allah Maha Penyayang memerintahkan para muslimah agar mengenakan hijab (jilbab), supaya berada di sisi Allah, dan ditempat sejauh mungkin dari perbuatan keji yang dapat menimpa pada diri kaum muslimah.

Simak baik-baik ayat Al Qur'an ini : "Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan pehiasaannya kecuali yang biasa nampak dari pandangan. Dan hen- daklah mereka menutupkan kainkerudung ke dadanya, dan jangan- lah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau keapda ayah mereka, atau putra-putra mereka, atau saudara- saudara mereka, atau putra-putra suami mereka, atau wanita- wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan- pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap kaum wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat kaum wanita. dan janganlah mereka memukul kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (Qs An Nur : 31)

Bagaimana jilbab yang dimaksud dalam ayat diatas, setidaknya harus memenuhi syarat-syarat hijab atau jilbab sebagai berikut dan inilah jilbab yang syar'i dan benar :

  1. Menutupi seluruh tubuh, sebagaimana yang difirmankan Allah, "Hendaklah mereka itu mengeluarkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (Qs Al Ahzab : 59)
  2. Maksud daripada berhijab adalah untuk menutup tubuh wanita dari pandangan laki-laki. Jadi, bukan yang tipis, yang pendek, yang ketat, tau berkelir serupa dengan kulit, mau- pun yang bercorak dan yang bersifat mengundang penglihat- an laki-laki.
  3. Harus yang longgar, sehingga tidak menampakkan tempat- tempat yang menarik pada anggota tubuh.
  4. Tidak diberi wangi-wangian, hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah saw : "Sesungguhnya seorang wanita yang memakai wangi- wangian kemudian melewati kaum (laki-laki) bermak- sud agar mereka mencium aromanya, maka ia telah melakuk- an perbuatan zina". (HR Tirmidzi)
  5. Pakaian wanita tidak boleh menyerupai laki-laki, "Nabi saw melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki". (HR Abu Dawud dan An Nasai).
  6. Tidak menyerupai pakaian orang kafir, "Siapa yang meniru suatu kaum, maka ia berarti dari golongan mereka". (HR Ahmad)
  7. Berpakaian tanpa bermaksud supaya dikenal, baik itu dengan mengenakan pakaian yang berharga mahal maupun yang mu- rah, jika niatnya untuk dibanggakan karena harganya atau- pun yang kumal jika bermaksud agar dikenal sebagai orang yang ta'at (riya'). "Siapa yang mengenakan pakaian tersohor (bermaksud supaya dikenal) di dunia, maka Allah akan mem- berinya pakaian hina di hari Kiamat, lalu dinyalakan apa pada pakaian tersebut." (HR Abu Dawud)

Sungguh fenomena jilbab pada saat sekarang, membuat kita di satu sisi patut bersyukur, wanita sudah tidak malu lagi untuk berjilbab di manapun tempatnya sehingga jilbab benar-benar telah membudaya di masyarakat dan dianggap sesuatu yang lumrah.Namun di sisi lain jilbab yang sesungguhnya harus memenuhi prasyarat jilbab syar'i sebagaiman tersebut di atas seakan telah berubah fungsi dan ajaran, banyak sekali dan telah bertebaran dimana-mana jilbab yang bukan lagi syar'i tapi lebih terkesan trendy dan mode atau lebih dikenal dengan jilbab funky yang kebanyakan dari semua itu adalah menyimpang dari syarat-syarat syara' jilbab yang sebenarnya.

Diantara penyimpangan-penyimpangannya yang ada, antara lain :

  1. Tidak ditutupnya seluruh bagian tubuh. Seperti yang biasa dan di anggap sepele yaitu terbukanya bagian kaki bawah, atau bagian dada karena jilbab diikatkan ke leher, atau yang lagi trendy, remaja putri memakai jilbab tapi lengan pakaiannya digulung atau dibuka hingga ke siku mereka.
  2. Sering ditemui adanya perempuan yang berjilbab dengan pakaian ketat, pakaian yang berkaos, ataupun menggunakan pakaian yang tipis, sehingga walaupun perempuan tersebut telah menggunakan jilbab, tapi lekuk-lekuk tubuh mereka dapat diamati dengan jelas.
  3. Didapati perempuan yang berjilbab dengan menggunakan celana panjang bahkan terkadang memakai celana jeans. Yang perlu ditekankan dan telah diketahui dengan jelas bahwa celana jeans bukanlah pakaian syar'i untuk kaum muslimin, apalagi wanita.
  4. Banyak wanita muslimah di sekitar kita yang memakai jilbab bersifat temporer yaitu jilbab dipakai hanya pada saat tertentu atau pada kegiatan tertentu, kendurian, acara pengajian kampung dsb, setelah itu jilbab dicopot dan yang ada kebanyakan jilbab tersebut sekedar mampir alias tidak sampai menutup rambut atau menutup kepala.

Terkadang, kalau ditanyakan kepada mereka, mengapa kalian berbuat (melakukan) yang demikian, tidak memakai jilbab yang syar'i, padahal telah mengetahui bagaimana jilbab yang syar'i, sering didapati jawaban, "Yaa, pengen aja ", atau "Belum siap ", atau "Mendingan begini daripada tidak memakai jilbab sama sekali ", atau " Jilbab itu khan tidak hanya satu bentuk, jilbab khan bisa dimodofikasi yang penting khan menutup aurat " terkadang didapati juga jawaban, "Kok kamu yang ribut, khan emang sudah menjadi mode yang seperti ini!"

Padahal, dituntutnya jilbab dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan hukum syara' yang disebutkan di atas, sesungguhnya akan membawa kebaikan bagi kita sendiri, baik di dunia maupun di akhirat dan bukan didasari atas nafsu atau ditujukan untuk mengekang kita.

Janganlah sampai suatu kaum, dimana mereka meremehkan perempuan-perempuan/muslimah yang berjilbab hanya karena memakai pakaian/jilbab yang tidak sesuai dengan hukum syara'.

Apabila kaum telah meremehkan hal ini, maka bagaimana dengan pandangan (penilaian) Allah dan Rasul -Nya terhadap wantia yang seperti ini ? Tidakkah ada bedanya antara perempuan yang berjilbab dengan perempuan yang tidak berjilbab ?

CINTA DAN MENCINTAI ALLAH

Definisi Cinta

Imam Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; memba-tasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka ba-tasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.

Kebanyakan orang hanya membe-rikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)

Beberapa definisi cinta:

  1. Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).

  2. Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.

  3. Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.

  4. Mengembaranya hati karena men-cari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.

  5. Menyibukkan diri untuk menge-nang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.

PEMBAGIAN CINTA

  1. Cinta ibadah
    Ialah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya.
    Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
    Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.

  2. Cinta karena Allah
    Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.

  3. Cinta yang sesuai dengan tabi'at (manusiawi),
    yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:

    1. Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.

    2. Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.

    3. Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.

Cinta-cinta yang demikian termasuk dalam kategori cinta yang manusiawi yang diperbolehkan. Jika kecintaanya tersebut membantunya untuk mencintai dan mentaati Allah maka kecintaan tersebut termasuk ketaatan kepada Allah, demikian pula sebaliknya.

KEUTAMAAN MENCINTAI ALLAH

  1. Merupakan Pokok dan inti tauhid
    Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy, "Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menye-rahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman. (Al-Qaulus Sadid,hal 110)

  2. Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya.
    Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: "Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi ,ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepada penuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami' Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230)

  3. Sebagai hiburan ketika tertimpa musibah
    Berkata Ibn Qayyim, "Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38).

  4. Menghalangi dari perbuatan maksiat.
    Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): "Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya.

    Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbeda-an antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya.

    Sampai pada ucapan beliau, "Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya. (Thariqul Hijratain, hal 449-450)

  5. Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was.
    Berkata Ibnu Qayyim, "Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbe-daan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya.
    Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)

  6. Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan.
    Berkata Ibn Qayyim, "Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta'ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencin-tai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya.

    Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya."(Ighatsatul-Lahfan, hal 567)

ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH Subhannahu wa Ta'ala

Allah Subhannahu wa Ta'ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman di dalam surat Al-Ma'idah: 54, yang artinya: "Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah."

Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta'ala :

  • Attawabun (orang-orang yang bertau-bat), Al-Mutathahhirun (suka bersuci), Al-Muttaqun (bertaqwa), Al-Muhsinun (suka berbuat baik) Shabirun (bersa-bar), Al-Mutawakkilun (bertawakal ke-pada Allah) Al-Muqsithun (berbuat adil).

  • Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.

  • Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.

  • Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.

  • Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.

  • Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.

  • Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.

SEBAB-SEBAB UNTUK MENDAPATKAN CINTA ALLAH Subhannahu wa Ta'ala

  • Membaca Al-Qur'an dengan memikir-kan dan memahami maknanya.

  • Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.

  • Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta'ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.

  • Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.

  • Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.

  • Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.

  • Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.

  • Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur'an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.

  • Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da'i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembica-raan yang baik.

  • Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta'ala .

(Disadur dari kalimat mutanawwi'ah fi abwab mutafarriqah karya Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd oleh Abu Muhammad).

Rabu, 07 Oktober 2009

welcoming the new our lead..

puihhh pagi""" disambut kepsek baru di gerbang ..
gile.. itu pagi banget tau masalah na jam 06.30 dya udah nangkring..
buset niat ama pa pindah ke sekolah gw..
hahah slut.salut..
jangan.jangan besok.besok itu kepsek berani razia kita lagi..
ahhh parah..
tapi welcoming dah mr.
welcoming to the hell if i were you.. heu"""
enjoyed you work..
okay...
i know mr lebih baek dari kepsek yang kemaren.. amin..
huuuhhhh
just a wish ...

Selasa, 06 Oktober 2009

happy bday our brada. our maskot

huaa.. today.. alba our brada. our maskot tapi lebih tepat anaknya abi yaitu anak pertmanya bapak pery apriyanto. genap menginjka umur 1 tahun yang memiliki postur tubuh ukuran umur 3 tahun..
alba tampak bahagia namun binggung.
pertama mungkin dya merasa bahagia karena kedua orang tuanya (baca umi abi) terlihat terus tersenyum senyum , sekaligus binggung melihat ke anehan para kakak-kakaknya yang ikut riweh nimbrung kue ulatnya..
mungkin karena kesal dya menempelkan kedua tanggannya hingga merasa panas dan terlontar teriakan menangis..
sungguh tragis kejadian tadi..
tapi lebih tragis saat kejadian itu terjadi semua yang melihat malah ikut tertawa.. hahahah
tanpa terkecuali mereka ... abi dan umi...

banyak doa yang terlontar dari kaka mu iini de..
hahah..
pokokna di ultah yang pertama alba.. banyak doa yang mengalir...
heu""" alba kita makan""" yoi ..
hoooho
happy bday our brada. our maskot..

Istilah Seputar Lebaran


Di awal bulan suci Ramadhan, menjelang Iedul Fitri hingga sesudahnya, ummat muslim dan masyarakat luas di Indonesia saling berbagi ucapan dan ungkapan melalui SMS, email, telepon atau disampaikan pada saat bertemu langsung. Akan tetapi ternyata banyak yang kurang memahami apa makna berbagai macam ucapan dan ungkapan tersebut serta dari mana asal usulnya. Jadi kebanyakan cuma ikut-ikutan saja atau demi sopan santun. Sehingga kadangkala menjadi kurang tepat penggunaannya.

Misalnya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan biasanya orang mengucapkan "marhaban ya ramadhan" yang merupakan ungkapan yang berasal dari bahasa arab artinya "selamat datang bulan suci Ramadhan". Kalau di luar negeri, biasanya ditambahkan "ramadhan mubarak" yang artinya "bulan yang penuh berkah". Jadi kalimat ini diucapkan dengan tujuan untuk saling berbagi suka cita menyambut kedatangan bulan suci yang penuh berkah dan biasanya diikuti ungkapan ajakan untuk berlomba dalam kebaikan.

Sebagian orang, yang mungkin lebih mengerti, memilih mengucapkan kalimat yang lebih panjang di awal dan akhir bulan Ramadhan, yaitu "allahumma taqobbal minna shiyamana, wa qiyamana, wa sujudana, wa tilawatana, wa shodaqona. Taqobbalallahu minna wa minkum kullu aamin wa antum bi khoir" yang artinya "semoga Allah SWT membalas amal ibadah kita-saya dan anda (puasa, sholat malam, sujud, tilawah AL Qur’an, shodaqoh, dll.) dengan balasan yang baik".

Atau mengucapkan versi singkatnya "taqobbalallahu minna wa minkum" yang artinya "semoga Allah SWT menerima (amal ibadah) aku dan kalian". Kalimat ini sering diucapkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Beberapa sahabat menambahkan ucapan ini dengan kalimat "shiyamana wa shiyamakum" yang artinya "puasaku dan puasa kalian". Artinya ini adalah doa agar amal ibadah, terutama puasanya diterima Allah SWT.

Ungkapan Khas Indonesia

Namun ada beberapa ungkapan hanya khas dikenal di Indonesia saja (tidak dimengerti ummat muslim di negara lain). Yang paling populer adalah kalimat "minal ‘aidin wal faizin" walau berasal dari kata-kata dalam bahasa arab, namun di arab sendiri kalimat ini tidak dipahami. "Minal ‘aidin" artinya secara bebas adalah "golongan yang kembali" dan kalimat "wal faizin" artinya "golongan yang menang". Sehingga makna ungkapan tersebut adalah doa "semoga kita semua termasuk golongan yang kembali (fitrah, suci seperti bayi) dan termasuk orang yang meraih kemenangan (melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan)". "Minal ‘aidin wal faizin" biasanya diawali dengan kata "ja’alanallah" sehingga menjadi "ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin". Artinya kurang lebih, semoga Allah menjadikan kita termasuk (golongan) orang-orang yang kembali (fitrah) dan menjadi
pemenang.

Jadi, ungkapan ini merupakan budaya lokal Indonesia yang diyakini sudah cukup lama berkembang di masyarakat. Akan tetapi ternyata masih cukup banyak salah kaprah yang mengartikan "minal ‘aidin wal faizin" sebagai ucapan "mohon maaf lahir dan batin" dalam bahasa arab. Itupun penulisan transliterasinya juga sering salah ejaan misalnya kata "’aidin" ditulis "aidzin" (dengan huruf arab "dzal" bukan "dal") serta kata "faizin" ditulis "faidzin" dimana perbedaan satu huruf saja akan mengakibatkan perbedaan makna. Bisa dimaklumi, mungkin mereka yang tidak mengetahui ini merasa malu bertanya apa arti sebenarnya dan bagaimana cara penulisannya yang benar, karena ungkapan ini sudah sangat umum, memasyarakat dan sering digunakan dimana-mana. Kalau bertanya kok kesannya memalukan sekali, masa tidak tahu? Demikian kira-kira penyebab salah kaprah yang terus berlanjut ini :)

Penggunaan kalimat “minal aidin wal faizin” yang lebih sesuai makna seharusnya adalah sebagai kalimat penutup ucapan yang lebih lengkap di akhir bulan puasa: “taqabbalallahu minna wa minkum wa ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima amalan-amalan yang telah saya dan anda kerjakan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan orang-orang yang mendapatkan kemenangan”.

Halal bi Halal

Ungkapan lain yang juga hanya bisa dipahami oleh orang Indonesia adalah istilah "halal bi halal". Meskipun ungkapan ini menggunakan bahasa arab, namun justru tidak dapat dimengerti oleh orang arab. Karena dari segi tata bahasa arab tidak dikenal susunan kata yang semacam ini, mirip seperti kasus ungkapan "minal ‘aidin wal faizin" yang oleh sebagian ulama dikatakan: mungkin asalnya adalah ungkapan dalam bahasa lokal yang dibahasa-arab-kan. Arti "halal bi halal" kurang lebih adalah "halal bertemu halal". Asal usul frasa ini pun ada banyak versi dan setiap daerah di Indonesia nampaknya punya sejarah masing-masing yang berbeda.

Kalangan pesantren dan kaum santri misalnya mengatakan bahwa bersama dengan ucapan ini, kedua belah pihak sepakat untuk saling menghalalkan segala sesuatu yang semula haram diantara mereka. Atau dalam bahasa yang sederhana "saling memaafkan satu sama lain". Ungkapan ini dianggap sangat tepat untuk mewakili budaya saling memaafkan sepanjang bulan Syawwal (setelah bulan Ramadhan). Karena agama Islam mengajarkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua dosa diampuni Allah SWT kecuali dosa kepada sesama ummat manusia.

Sehingga di bulan Syawwal banyak dilakukan ritual budaya "halal bi halal" yaitu berkumpulnya handai taulan untuk saling memaafkan yang umumnya diselenggarakan melalui acara yang dirayakan secara besar-besaran mengundang sebanyak-banyaknya kerabat atau kelompok-kelompok pergaulan masyarakat. Bahkan bagi kalangan pejabat/pemimpin/tokoh masyarakat dikenal istilah "open house" dimana setelah sholat Iedul Fitri para pemuka masyarakat dan seluruh anggota keluarganya bersiap diri di rumah untuk menerima kunjungan anak buah, relasi dan masyarakat umum. Tujuannya sekedar bersalam-salaman, bermaaf-maafan dan kadang-kadang juga sambil memberikan sedekah sehingga bisa menimbulkan kemacetan luar biasa :)

Di arab sendiri dan masyarakat Islam lain di berbagai belahan dunia, budaya dan ritual yang mirip dengan "halal bi halal" seperti di Indonesia hanya dilakukan di lingkungan keluarga besar saja serta tidak diacarakan secara khusus yang melibatkan banyak orang bahkan massa.

Sebenarnya menurut hukum syariat, pemaknaan "halal" dan "haram" di dalam hubungan kemasyarakatan ini kurang tepat. Karena sesuatu yang diberikan maafnya itu belum tentu adalah hal yang haram. Misalnya perbuatan khilaf belum tentu adalah haram sehingga perlu dihalalkan. Penggunaan istilah "halal bi halal" ini nampaknya lebih cenderung karena alasan budaya daripada syariat (hukum). Kemungkinan asalnya diilhami ritual "bersalaman" dalam prosesi "akad nikah" yang kemudian diikuti dengan kata "halal". Sehingga sekarang ini kegiatan "halal bi halal" selain menjadi momentum untuk saling memaafkan, juga identik dengan aktivitas saling bersalam-salaman.

Kelompok masyarakat yang lebih awam umumnya mengartikan "halal bi halal" ini sebagai "saat menikmati segala yang semula diharamkan di siang hari (selama bulan suci Ramadhan) dan merayakan bersama handai taulan sambil kita saling memaafkan" yaitu makan, minum, ber-jima’ antara suami isteri. Jadi ungkapan pendek itu ternyata artinya bisa jadi panjang juga :)

Dari segi budaya, "halal bi halal" dimaknai sebagai kesempatan untuk silaturahim, saling memaafkan dan mempererat pertalian kekeluargaan serta kekerabatan yang ini diyakini akan mampu menciptakan keharmonisan dan meningkatkan kerukunan diantara sesama di dalam masyarakat. Upaya ini mudah dipahami karena suku bangsa Indonesia memang amat erat persaudaraannya. Sehingga momentum "halal bi halal" dipandang sebagai suatu tuntunan ajaran agama, bagian dari ritual sekaligus sarana melestarikan budaya.

Salah Kaprah

Istilah "silaturahim" sendiri paling sering digunakan pada momentum Iedul Fitri ini. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi "silaturahmi" yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh. Istilah "silaturahim" berasal dari kata dalam bahasa arab "silah" yang artinya "menyambungkan" dan "rahim" yang artinya "kasih sayang dan pengertian". Sehingga kalimat "silaturahim" maknanya adalah "menyambungkan kasih sayang dan pengertian".

Ini sangat berbeda dengan makna kata "silah" yaitu "menyambungkan" dan "rahmi" yang ternyata artinya "rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan". Lha, kan ternyata tidak nyambung dengan maksud penggunaan kalimat ungkapan ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Padahal justru istilah salah kaprah "silaturahmi" ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat :)

Mirip dengan salah kaprah penyebutan istilah "muhrim" untuk lawan jenis yang haram dinikahi. Padahal arti kata "muhrim" dalam bahasa arab adalah "orang yang mengharamkan (sesuatu yang sebenarnya halal, misalnya ber-jima dengan suami atau isteri)" dimana ini biasanya terjadi pada orang yang sedang mengenakan pakaian "ihram" alias yang sedang melaksanakan ibadah umrah atau haji. Istilah yang benar adalah "mahram" yang artinya "orang yang diharamkan (untuk dinikahi – menurut syariat)". Salah satu hadist terkenal yang menggunakan istilah ini adalah "dilarang berduaan bagi pria dan wanita yang bukan mahram". Konon di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah kaprah ini tidak (belum) diperbaiki sehingga kata "muhrim" dan "mahram" tetap diartikan sama yaitu "orang yang haram dinikahi", padahal sebenarnya arti kedua kata tersebut berbeda.

Konon salah kaprah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun bahasa melayu termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat, sulit di dalam mengucapkan kata-kata arab. Sehingga kata "silaturahim" dan "mahram", karena dialek, berubahlah menjadi "silaturahmi" dan "muhrim" yang tanpa sengaja ternyata di dalam bahasa arab ada artinya juga dan berbeda makna.

Tetapi ternyata salah kaprah bukan hanya terjadi akibat penggunaan istilah serapan bahasa asing ataupun lokal, melainkan juga terjadi pada Bahasa Indonesia yang baku. Misalnya orang sering menyampaikan ucapan "Selamat hari raya Iedul Fitri". Sebenarnya ini salah, karena yang seharusnya diberi selamat adalah "perayaannya" bukan "hari-nya". Sehingga pengucapan yang benar adalah "Selamat (merayakan) Iedul Fitri" atau kalau di hari besar agama lain, misalnya Natal (Nasrani), adalah "Selamat (merayakan) Natal". Kalau di hari ulang tahun adalah "Selamat ulang tahun". Konon salah kaprah ini pernah dikoreksi oleh Pak Anton Mulyono pakar Bahasa Indonesia di TVRI sekitar 20 tahun yang lalu :)

Ada salah kaprah yang lainnya berkaitan dengan anjuran menyegerakan berbuka puasa, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Hidayat Nur Wahid. Yang pada intinya, Rasulullah SAW memang manganjurkan agar segera berbuka puasa (biasanya dengan beberapa biji kurma dan air yang kadang diberi madu) sedang ketika sahur justru sebaiknya lebih lambat, yaitu menjelang waktu subuh. Akan tetapi, ucapan segera berbuka puasa itu bukan dengan ungkapan "batalkan dulu puasanya". Karena ternyata niat "batal puasa" dengan "berbuka puasa" itu berbeda makna dan juga implikasi hukumnya. Sekalipun sudah masuk waktu berbuka puasa, tetapi kalau niatnya membatalkan puasa, maka bisa jadi batal sungguhan puasanya! Wah, padahal maksudnya adalah ingin menyegerakan berbuka puasa. Kan rugi? Jadi, istilah yang tepat untuk menganjurkan segera berbuka puasa adalah ungkapan "ayo segera berbuka puasa" bukan "batalkan dulu puasanya".

Mengingat ternyata ada banyak salah kaprah, maka harus lebih hati-hati agar ibadah kita sempurna.

Dalil Rujukan

Kegiatan "halal bi halal" ini kemudian oleh para ulama diberikan rujukan dalil di dalam Al Quran sebagai landasan ritual budaya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia tersebut. Bahkan bukan hanya menjadi monopoli ummat muslim, karena ummat agama lain juga akhirnya memanfaatkannya untuk meningkatkan dan menjaga kerukunan serta keharmonisan.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab salah satu ayat yang sering dijadikan landasan "halal bi halal" adalah "Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177).

Berangkat dari makna "halal bi halal" tersebut, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam yang "rahmatan lil alamiin (rahmat bagi seluruh alam semesta)".

Selanjutnya Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan dalam bukunya Lentera Hati:

Makna bentukan kata yang berasal dari "halal" antara lain berarti "menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan dan mencairkan yang beku". Maka "halal bi halal" diterjemahkan sebagai kegiatan untuk "meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan masalah yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan".

Demikianlah hubungan antar manusia, masalah bisa timbul karena kita lama tidak berkunjung atau bertegur sapa kepada seseorang, atau ada sikap adil yang kita ambil namun menyakitkan orang lain atau timbul keretakan hubungan dari salah paham akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik.

Itulah makna serta substansi "halal bi halal" atau jika istilah tersebut enggan kita gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Iedul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya kita mengulurkan tangan dan melapangkan dada dan semakin parah luka hati yang kita obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat "halal bi halal". Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya sesuai ajaran Islam.

Landasan lainnya yang sering digunakan adalah Al Quran surat Ali ‘Imron ayat 134-135 yang intinya diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertaqwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Jadi tidak cukup hanya meminta maaf, tetapi harus juga diikuti perbuatan baik yang menyenangkan orang lain secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari dan ini berlaku kepada semua ummat manusia bukan hanya sesama muslim sehingga "halal bi halal" adalah tradisi yang merefleksikan Islam sebagai agama toleran yang mengedepankan pendekatan kerukunan dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khoirot).

Sumber: netsains.com

Minggu, 04 Oktober 2009

putih abu never ending !!!

wahhh...
hari terus berlalu..
peer ulangan terus menanti dan menumpuk,, gila remedy pun terus berdatangan.. hahah tapi kita bawa happy aja..
kaya kemaren pas hari sabtu..
gila pemotretan dadakan itu SILENT.. thanks pa ocoy karena udah gak masuk.. heheh""" yang sering aja dah pa.. kita seneng kok.. hihi
baru kali ini kita narsis berat...
orang'' sepanjang lorong liatin kita pada di danau.. hahaha
tergila kami.. tapi kami terbaik...
i think so..
hehehhh,,,,

besokk sekolah lagi.. ketemu kimia am fisika am plh..
huuh..
we'll be fine tommorow..

Tips ABCDE untuk Siap Ujian Nasional

Adanya rencana Mendiknas untuk memajukan Ujian Nasional (UN) atau tidak, tak akan menjadi masalah bagi siswa yang berkarakter pembelajar dan...